Masyarakat Indonesia ditengarai baru mulai mengonsumsi tembakau pada awal abad 16. Namun kreativitas masyarakat Indonesia untuk menemukan berbagai cara guna menikmati tembakau memang luar biasa. Selain kretek, yang kini mendominasi produk tembakau Indonesia, masyarakat Indonesia sebelumnya juga sudah memiliki berbagai produk olahan daun tembakau. Mereka memiliki kemampuan untuk melakukan berbagai inovasi, guna meningkatkan cita rasa dan khasiat daun tembakau.
Tradisi menikmati daun tembakau di Indonesia semula memang diperkenalkan oleh orang-orang asing yang menjajah Indonesia. Mereka memperkenalkan tradisi tersebut kepada raja-raja dan kaum bangsawan. Orang Belanda menyebutnya dengan rokken dan orang Indonesia melafalkannya dengan rokok. Rokok adalah rajangan daun tembakau yang dilinting dengan kertas tipis lalu dibakar pada salah satu ujungnya dan dihisap pada ujung yang lain.
Kegiatan merokok kemudian menjadi status simbol elite yang hanya dipunyai kalangan atas dari lapisan masyarakat. Sultan Agung dicatat sejarah sebagai salah seorang perokok berat. Raja Mataram ini kerap digambarkan membawa pipa cangklong perak dalam berbagai kegiatannya, termasuk pula ketika dia mengawasi prajuritnya berlatih perang. Di sampingnya selalu ada abdi setia yang selalu mendampinginya dengan tali api (upet) guna menyalakan rokok sang raja.
Pada masa itu, bukan hal mudah untuk bisa mendapatkan kertas linting atau papir. Karenanya orang Indonesia harus memutar otaknya untuk bisa mendapatkan pengganti kertas. Keterbatasan selalu memberikan kreativitas sebagai jalan keluar. Maka dalam sekejap munculah berbagai jenis rokok yang tidak dilinting dengan kertas. Bahkan rokok-rokok ini kemudian dicampuri dengan perpaduan racikan bahan lain guna meningkatkan cita rasa dan khasiatnya. Berikut adalah berbagai jenis rokok tradisional yang pernah ada.
1. Rokok Kretek
Konon pada mulanya rokok ini ditemukan oleh H. Jamhari sekira tahun 1880-an di Kota Kudus yang selanjutnya menjadi kota cikal bakal dan sentra industri kretek terbesar di Indonesia. Rokok kretek adalah perpaduan tembakau rajangan yang dicampur dengan racikan cengkeh dan dilinting menggunakan kertas. Rokok ini menjadi salah satu jenis rokok utama yang masih bertahan hingga saat ini.
Konon pada mulanya rokok ini ditemukan oleh H. Jamhari sekira tahun 1880-an di Kota Kudus yang selanjutnya menjadi kota cikal bakal dan sentra industri kretek terbesar di Indonesia. Rokok kretek adalah perpaduan tembakau rajangan yang dicampur dengan racikan cengkeh dan dilinting menggunakan kertas. Rokok ini menjadi salah satu jenis rokok utama yang masih bertahan hingga saat ini.
2. Rokok Klobot
Rokok klobot adalah rajangan tembakau dipadu racikan cengkeh yang dilinting dengan menggunakan klobot jagung yang dikeringkan. Klobot sendiri adalah lapisan pipih lebar yang membungkus biji jagung secara berlapis-lapis. Rokok klobot diyakini sebagai rokok tertua yang pernah diciptakan oleh orang Indonesia. Inspirasinya berasal dari kesulitan masyarakat dalam memperoleh kertas guna melinting rokok.
Rokok klobot adalah rajangan tembakau dipadu racikan cengkeh yang dilinting dengan menggunakan klobot jagung yang dikeringkan. Klobot sendiri adalah lapisan pipih lebar yang membungkus biji jagung secara berlapis-lapis. Rokok klobot diyakini sebagai rokok tertua yang pernah diciptakan oleh orang Indonesia. Inspirasinya berasal dari kesulitan masyarakat dalam memperoleh kertas guna melinting rokok.
3. Rokok Klembak Menyan
Rokok klembak menyan adalah rokok tembakau yang dicampuri dengan racikan akar klembak dan irisan kemenyan. Akar klembak dipercaya memiliki fungsi laksatif (menenangkan), sedangkan kemenyan bisa memberikan tambahan cita rasa dan aroma yang bernuansa magis. Selain itu, menyan sendiri sebenarnya banyak digunakan masyarakat dalam berbagai ritual tradisional. Rokok jenis ini banyak dinikmati oleh masyarakat kelas bawah di Jawa bagian tengah.
Rokok klembak menyan adalah rokok tembakau yang dicampuri dengan racikan akar klembak dan irisan kemenyan. Akar klembak dipercaya memiliki fungsi laksatif (menenangkan), sedangkan kemenyan bisa memberikan tambahan cita rasa dan aroma yang bernuansa magis. Selain itu, menyan sendiri sebenarnya banyak digunakan masyarakat dalam berbagai ritual tradisional. Rokok jenis ini banyak dinikmati oleh masyarakat kelas bawah di Jawa bagian tengah.
4. Rokok Diko (rokok wangen)
Rokok Diko diambil dari nama penemunya, Mas Ngabehi Irodiko, seorang mantri dari Keraton Surakarta. Rokok ini merupakan pengembangan dari rokok klembak menyan. Dibungkus dengan daun nipah dan dicampur dengan berbagai bahan racikan meliputi akar klembak, menyan, kemukus, kayu manis, pala, adas, pulasari, pucuk, cendana, dupa, tegari, dan lain-lain. Perpaduan racikan ini menghasilkan asap rokok yang berbau wangi, dan selanjutnya disebut pula dengan rokok wangen. Rokok ini juga mengilhami industri kerajinan rokok wangen di Surakarta, sepuluh tahun setelah H. Jamhari menciptakan rokok kretek di Kudus.
Rokok Diko diambil dari nama penemunya, Mas Ngabehi Irodiko, seorang mantri dari Keraton Surakarta. Rokok ini merupakan pengembangan dari rokok klembak menyan. Dibungkus dengan daun nipah dan dicampur dengan berbagai bahan racikan meliputi akar klembak, menyan, kemukus, kayu manis, pala, adas, pulasari, pucuk, cendana, dupa, tegari, dan lain-lain. Perpaduan racikan ini menghasilkan asap rokok yang berbau wangi, dan selanjutnya disebut pula dengan rokok wangen. Rokok ini juga mengilhami industri kerajinan rokok wangen di Surakarta, sepuluh tahun setelah H. Jamhari menciptakan rokok kretek di Kudus.
5. Rokok Ico
Rokok Ico adalah rokok khas Bugis. Terbuat dari gulungan daun tembakau kering yang dicampur dengan saus gula merah. Haji Palerei adalah orang pertama yang mencampur rokok ini dengan saus gula merah.
Rokok Ico adalah rokok khas Bugis. Terbuat dari gulungan daun tembakau kering yang dicampur dengan saus gula merah. Haji Palerei adalah orang pertama yang mencampur rokok ini dengan saus gula merah.
Selain dibuat rokok, dibakar dan dinikmati asapnya, masyarakat Indonesia juga memiliki kebiasaan untuk menikmati tembakau dengan cara meletakkannya di mulut dan mengunyah-ngunyahnya. Kebiasaan ini disebut dengan makan sirih atau dalam bahasa Jawa disebut dengan nyusur atau nginang. Tembakau yang digunakan adalah tembakau sugi (mbako susur) yang kemudian dicampur dengan kapur (injet), gambir, pinang dan daun sirih. Daun tembakau dalam kebiasaan ini berfungsi untuk menapis air liur, hingga air liur yang memerah karena telah bercampur dengan buah pinang dan daun sirih bisa terserap. Namun kebiasaan makan sirih ini sudah semakin jarang dijumpai lagi di masyarakat.
Sumber gambar: Eko Susanto via Flickr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar